Tuesday, December 23, 2008

Krisis dan Jiwa Besar Pemimpin

Dampak krisis secara perlahan sudah dirasakan oleh beberapa sector industri yang padat karya dan banyak bergantung kepada pasar ekspor maupun bahan baku impor. Dampak yang mudah dilihat adalah pemutusah hubungan kerja (PHK) karyawan dalam rangka mengurangi ongkos produksi dan menyelamatkan keberlangsungan perusahaan. Industri tekstil, sebagai misal, sedang mengalami penurunan pesanan akibat turunnya permintaan dari pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Situasi ini memaksa perusahaan-perusahaan tekstil untuk melakukan efisiensi, bahkan sebagian dari mereka telah berhenti beroperasi. Selain industri tekstil, beberapa industri padat karya lainnya juga sedang mengalami situasi yang sama.

Mungkin hal ini tidak hanya akan dialami oleh industri manufaktur yang banyak bergantung kepada pasar ekspor, akan tetapi hal ini bisa terjadi dengan industri-industri jasa seperti media dan transportasi. Di Amerika Serikat, perusahan-perusahaan media ternama seperti the Los Angeles Times, the Washington Post, yang juga dikenal dengan majalah Newsweek-nya, tidak dapat terhindar dari ancaman krisis akibat dari penurunan pendapatan iklan. The Los Angeles Times telah menyatakan dirinya bangkrut, sedangkan majalah Newsweek akan melakukan pengurangan karyawan dan perubahan tampilan yang lebih ramping. Sementara itu, jasa tranportasi, seperti industri logistik, juga sedang mengalami penurunan permintaan seiring dengan menurunnya aktifitas ekspor industri di dalam negeri.

Gambaran di atas sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa krisis kali ini juga hampir sama seperti krisis yang terjadi pada tahun 1997-an. Sama dalam arti bahwa krisis ini akan meningkatkan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan. Sehingga tak dapat dipungkiri, gejolak-gejolak sosial yang sama bisa saja terjadi lagi.

Sebagai pemegang amanah rakyat, sebenarnya langkah-langkah pemerintah sudah mengarah kepada titik antisipasi krisis. Hari Jum’at kemarin, Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani meminta setiap Departemen yang potensial untuk menggunakan anggarannya dalam rangka membuka lapangan kerja baru. Menurut Ibu Menko Perekonomian, Indonesia membutuhkan lebih kurang tiga juta lapangan kerja baru guna mengantisipasi krisis (Kompas, 13/12/2008). Selain itu, langkah-langkah lain seperti pengendalian impor barang dan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi harapan dalam situasi ketidakpastian seperti ini.

Namun permasalahannya, tanpa maksud merendahkan kemampuan, apakah pemerintah mampu menyelesaikan masalah ini sendiri? Apalagi kalau niatannya hanya mengejar popularitas untuk Pemilu tahun depan.

Disaat seperti inilah, kemampuan seorang pemimpin diukur. Kemampuan untuk merangkul kelompok-kelompok pendukung maupun penentang. Memang hajatan Pemilu tidak lama lagi akan digelar, akan tetapi alangkah bijaknya jika SBY-JK tidak dulu focus ke masalah itu, melainkan mengoptimalkan segala sumber daya yang ada untuk mencegah keterpurukan bangsa ini di dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya.

Melepas baju kepentingan memang sulit, tetapi apa salahnya jika SBY-JK mengundang Megawati, Akbar Tanjung, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, dan tokoh-tokoh lainnya untuk duduk bersama mencari jalan keluar dari krisis. Paling tidak dengan bertemunya simpul-simpul itu, mereka dapat menyamakan pandangan mereka mengenai krisis. Agar krisis ini tidak menjadi komoditas politik menjelang Pemilu 2009. Sebab situasi ini bisa menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu dapat meledak apabila tidak dikendalikan sejak dini.

Di sisi lain, kerjasama antara pemerintah dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), seperti NU, Muhammadiyah, PGI, dan yang lainnya sebenarnya belum dilakukan secara optimal. Padahal sebagian dari mereka juga mempunyai program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang bisa membuka peluang alternatif di saat krisis.

Pada akhirnya, SBY-JK diharapkan untuk dapat menegaskan kembali orientasi industri negeri ini. Karena dalam kenyataannya, industri manufaktur yang sebagian besar berlokasi di perkotaan lebih maju daripada industri-industri yang berbasis pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Re-orientasi ini menjadi penting sebab secara geografis peluang untuk mengembangkan industri itu masih terbuka luas.

Andi Kurniawan
Alumnus Hubungan Internasional
Universitas Jember 2001

No comments: