Tuesday, December 11, 2007

(ASEAN dan Myanmar)

Lemahnya Sikap ASEAN Terhadap Myanmar

Sejarah politik dan pemerintahan Myanmar sejatinya telah didominasi oleh militer sejak 1962 ketika Jenderal Ne Win melancarkan kudeta atas pemerintahan sipil yang dipimpin oleh U Nu. Militer mengatur dan mengontrol seluruh sektor dalam kehidupan masyarakat Myanmar demi kepentingan keluarga para petinggi militer yang mengatasnamakan rakyat. Bahkan Pemerintah Junta Myanmar juga mengatur lalu lintas informasi dari luar negeri maupun dari Myanmar sendiri untuk mempersempit ruang gerak oposisi khususnya yang mengusung isu demokratisasi dan reformasi. Sehingga tidak mengherankan jika anda atau siapapun yang meneliti atau membutuhkan sesuatu informasi detil mengenai Myanmar akan menemukan kendala.

Kepentingan militer untuk berkuasa di Myanmar dalam kenyataannya memang tidak disertai dengan perkembangan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan yang lebih baik. Terbukti dengan masih rendahnya pendapatan per kapita Myanmar dibandingkan dengan dua negara anggota ASEAN yang memiliki latarbelakang sosio-kultural yang relatif serupa yaitu Laos dan Vietnam. Pada tahun 2005, data menunjukkan bahwa pendapatan perkapita Laos mencapai US$ 623 dan Vietnam US$ 635, sedangkan Myanmar hanya mencapai US$ 106 (ASEAN Statistical Year Book 2006). Oleh karena itu, peristiwa demonstrasi baru-baru ini yang dipelopori oleh kaum agamawan untuk membebaskan diri dari otoritarianisme junta dan keterbelakangan ekonomi adalah sesuatu yang tidak mengejutkan melainkan sangat memprihatinkan. Karena reaksi kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap para pemrotes telah melampaui batas dan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, fenomena ini bisa dilihat sebagai suatu efek bola salju dari peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi pada tahun 1988 ketika protes rakyat untuk memperjuangkan hidup yang lebih baik menuai reaksi keras dari Pemerintahan Junta.

Myanmar atau yang lebih dikenal dengan Burma secara geografis terletak di Asia Tenggara dan bertetangga di sebelah barat dengan Bangladesh dan India, di sebelah timur dengan Cina, Laos dan Thailand. Myanmar secara resmi masuk menjadi anggota organisasi bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 1997 selain karena latar belakang geografis yang mendukung, tetapi juga karena meningkatnya tekanan interdependensi antar negara yang mendorong pembentukan kerjasama kawasan yang lebih kuat. Myanmar dikategorikan sebagai salah satu negara anggota termuda di ASEAN yang sering dikenal dengan istilah CLMV (Cambodia, Lao PDR, Myanmar, dan Vietnam).

Oleh sebab itu, secara geopolitik, ASEAN seharusnya mengambil peran penting dalam penyelesaian masalah tersebut. Karena gejolak politik di Myanmar telah menjadi isu internasional yang menarik perhatian banyak pihak, khususnya dalam permasalahan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). Tindakan represif pemerintahan junta terhadap kaum agamawan yang mempelopori aksi protes telah menimbulkan korban tewas dan luka-luka meskipun fakta ini tetap disangkal oleh pemerintahan junta. Bahkan tewasnya salah satu wartawan Jepang, Kenji Nagai, yang sedang meliput aksi-aksi demonstrasi di negara itu telah memicu keprihatinan warga negara Jepang yang meminta pemerintahnya untuk bertindak tegas atas peristiwa itu.

Di sisi lain, isu ini menjadi penting karena peristiwa ini terjadi pada momentum di mana negara-negara anggota ASEAN sedang disibukkan oleh pekerjaan untuk menyelesaikan “proyek” integrasi ASEAN melalui tiga pilar yaitu ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Security Community (ASC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASC) seperti yang termaktub dalam deklarasi ASEAN Concord II di Bali 2003. Lebih dari itu, apabila merujuk pada salah satu pilarnya yaitu ASEAN Security Community (ASC), maka terbukti masih jauhnya antara harapan yang diusung dalam pilar tersebut dengan kenyataan yang terjadi. Karena ASC menuntut komitmen negara-negara anggota untuk menjaga stabilitas keamanan dan menghargai hak-hak asasi manusia, sedangkan yang terjadi saat ini di Myanmar justru sebaliknya. Bahkan ‘proyek’ integrasi ASEAN juga telah membawa ‘pemerintah’ negara-negara anggota ke dalam proses penetapan suatu landasan konstitusi yang disebut dengan ASEAN Charter (Piagam ASEAN).

Bagaimanapun pentingnya isu tersebut, namun dalam kenyataanya belum ada upaya signifikan dari ASEAN untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan mungkin hal itu sulit untuk dicapai. Hal ini menunjukkan masih rendahnya komitmen dan political will negara-negara anggota ASEAN dalam memperkuat solidaritas regional. Padahal, menurut Ernst Haas, konsep integrasi itu sendiri mengharuskan aktor-aktor politik di beberapa wilayah nasional yang berbeda terdorong untuk memindahkan kesetiaan, harapan, dan kegiatan politik mereka ke suatu pusat baru yang lembaga-lembaganya memiliki atau menuntut jurisdiksi atas negara-negara nasional yang ada sebelumnya. Tetapi dalam kenyataannya belum ada tindakan-tindakan nyata dari negara-negara tetangga maupun ASEAN secara keseluruhan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Meskipun beberapa negara tetangga, di antaranya adalah Indonesia dan Sekjen ASEAN, telah mengeluarkan kecaman dan meminta Pemerintahan Junta Myanmar untuk membuka proses dialog yang tidak diwarnai dengan kekerasan. Namun pernyataan-pernyataan diplomatik konvensional tidak berpengaruh signifikan terhadap keputusan Pemerintahan Junta Myanmar untuk terus menahan simbol demokrasi Myanmar, Aung San Suu-Kyi dan melakukan tindakan kekerasan terhadap para pemrotes.

Sementara itu, ASEAN memang cenderung menjadi organisasi kerjasama antar pemerintah saja. Karena dalam kenyataannya agenda-agenda yang melibatkan masyarakat ASEAN sekarang ini masih minim. Hal ini pula yang bisa dilihat dari tidak selarasnya antara keinginan masyarakat dengan keinginan pemerintah. Sekeras apapun suara masyarakat ASEAN untuk menentang tindakan represif pemerintah junta Myanmar terhadap rakyatnya dan menuntut pembebasan icon demokrasi Aung San Suu Kyi, tetapi pemerintah negara-negara anggota tetap saja tidak berbuat apa-apa melainkan hanya pernyataan diplomatis dari beberapa pemimpin negara anggota dan bukan tindakan ASEAN sebagai organisasi.

Lemahnya sikap ASEAN terhadap Myanmar juga disebabkan oleh prinsip organisasi yang masih mengedepankan non-interference dimana suatu negara tidak boleh mencampuri urusan negara lainnya. Meskipun ini menjadi hal yang dilematis dalam suatu pemerintahan untuk memperbolehkan negara lain mencampuri urusan domestik, tetapi ini adalah suatu keniscayaan dalam proses integrasi kawasan. Memang untuk isu-isu sensitif seperti peralihan kekuasaan atau pemilihan umum kepala negara suatu negara anggota harus tetap menjadi hak dan wewenang sepenuhnya suatu negara. Tetapi untuk permasalahan-permasalahan yang telah menyimpang dari prinsip-prinsip kemanusian seperti yang terjadi di Myanmar adalah masalah kita bersama.

Faktor Eksternal

Di sisi lain, lemahnya posisi ASEAN terhadap Myanmar juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu Rusia dan Cina. Cina memiliki kepentingan untuk tetap menyokong Pemerintahan Junta Myanmar karena China bergantung banyak terhadap pasokan energi dari Myanmar khususnya dalam bentuk gas alam dan keterlibatan China dalam proyek-proyek besar pembangunan infrastruktur. Menurut EarthRights International, salah satu NGO Amerika, perusahaan-perusahan China sekarang ini terlibat dalam sekitar 40 proyek-proyek hydropower dan sedikitnya 17 proyek minyak dan gas daratan dan lepas pantai. China juga telah mengumumkan rencananya untuk membangun jalur pipa dan gas sepanjang 2, 400 km dari Arakan di sebelah barat Myanmar ke provinsi Yunnan di China (the Economist, 29 September 2007). Sedangkan Rusia merupakan salah satu negara yang sedang membicarakan secara serius implementasi proyek energi dengan ASEAN yaitu pembangunan pipa minyak dan gas dari Siberia Timur sampai pesisir pantai Samudera Pasifik untuk menopang kebutuhan energi domestik Rusia (BBC, 1 Agustus 2007). Begitu pula sebaliknya, Junta Myanmar merupakan salah satu negara yang mengimpor persenjataannya dari Rusia dan China, termasuk diantaranya adalah peluncur multiple-rocket, pesawat tempur, dan pesawat tempur dengan peluru kendali.

Maka tidak mengherankan Rusia dan Cina menentang keputusan Dewan Keamanan PBB untuk membawa permasalahan Myanmar dalam agenda DK PBB. Kedua negara secara diplomatis berpendapat bahwa permasalahan Myanmar merupakan urusan dalam negeri yang dapat diselesaikan secara internal. Cina dan Rusia memiliki pengaruh sangat signifikan di DK PBB karena keduanya memiliki hak veto seperti yang dimiliki tiga negara lainnya yaitu AS, Perancis, dan Inggris.

Bagi ASEAN, Rusia dan China sekarang ini merupakan dua negara yang secara signifikan diperhitungkan dan menjadi salah satu faktor penentu dalam kesepakatan-kesepakatan yang diambil. Dari segi Cina, negara yang pernah dijuluki negeri tirai bambu ini merupakan salah satu mitra dagang terbesar ASEAN baik dari sisi ekspor maupun impor. Pada tahun 2004, persentase Ekspor ASEAN ke Cina mencapai 7,5 persen dari total ekspor ASEAN atau menempati peringkat kelima setelah Amerika Serikat. Sedangkan pada tahun yang sama untuk persentase impor ASEAN dari Cina mencapai 9,7 persen dari total impor ASEAN atau menempati peringkat ketiga setelah Jepang (ASEAN Statistical Year Book 2006).

Dari segi Rusia, kebutuhan akan pasokan senjata untuk militer dan pertahanan negara-negara anggota ASEAN merupakan suatu alasan yang tidak dapat dipungkiri. Rusia merupakan salah satu negara pecahan Uni Soviet yang pernah menjadi balancer dalam konstelasi hubungan internasional yang bipolar. Sejak saat itu hingga kini pun Rusia memiliki teknologi persenjataan yang cukup maju dan selalu berkembang. Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) yang sempat menunjukkan dirinya sebagai ‘polisi dunia’ dan terkenal dengan teknologi persenjataannya seringkali menerapkan embargo militer kepada negara-negara yang dianggap ancaman bagi kepentingan AS atau tidak mau patuh dengan aturan mainnya. Kenyataan inilah yang memposisikan Rusia sebagai salah satu alternatif sumber persenjataan yang cukup rasional, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ketika AS masih mempertahankan embargo militernya terhadap RI. Selain itu, Rusia memandang kerjasamanya dengan ASEAN sebagai suatu upaya awal untuk memperoleh pengakuan negara-negara Asia Pasifik atas peran pentingnya di kancah internasional.

Andi Kurniawan

Alumnus FISIP-HI Universitas Jember