Wednesday, June 04, 2008

Nasionalisme Indonesia

Pada periode perjuangan kemerdekaan Indonesia, nasionalisme dideskripsikan sebagai semangat yang dibangun berdasarkan suatu tujuan bersama yaitu kemerdekaan. Pemimpin dan masyarakat berjuang bersama untuk melepaskan diri dari jeratan imperialisme dan kolonialisme. Kesadaran untuk membebaskan diri dari penjajahan dan penindasan mendorong terjadinya persatuan dan kesatuan diantara berbagai perbedaan.

Namun pada saat ini, potret nasionalisme itu hanya digunakan sebagai simbol-simbol seremonial acara kenegaraan atau hari nasional. Karena pada kenyataannya, keadaan sudah berbeda dan generasi sudah berubah dari masa ke masa. Kecenderungan diskontinuitas informasi mengenai sejarah perjalanan bangsa telah terjadi akibat dari manipulasi politik yang dilakukan oleh penguasa rezim.

Bagaimanapun perubahan itu terjadi, nasionalisme tetap menjadi bahan penting dalam membangun identitas suatu bangsa. Dalam momen satu abad kebangkitan nasional—jika ini memang bukan seremonial belaka—bangsa Indonesia harus menyesuaikan kembali semangat nasionalisme dalam konteks kekinian.

Secara politik, impian demokrasi dan kebebasan berekspresi bertahap terlaksanakan pasca Reformasi 1998 bergulir. Tetapi secara ekonomi, kesejahteraan dan kemakmuran yang dicita-citakan dalam konstitusi Republik belum kunjung terlaksanakan secara merata. Karena tingkat kemiskinan masyarakat faktanya tetap signifkan bahkan cenderung meningkat.

Oleh sebab itu, semangat nasionalisme dalam konteks sekarang ini idealnya adalah semangat kebersamaan untuk mengentaskan kemiskinan dalam arti kesejahteraan ekonomi dan pendidikan. Ketidakmerataan ekonomi itu sendiri terlihat dari situasi dimana orang yang kaya semakin kaya, sedangkan orang yang miskin semakin miskin. Di ibu kota misalkan, pengguna mobil Jaguar semakin berkeliaran, akan tetapi masyarakat yang mengkonsumsi nasi aking atau yang hanya makan sekali dalam sehari meningkat. Dalam hal pendidikan, biaya pendidikan yang semakin luar biasa mahalnya perlahan-lahan tapi pasti menutup pintu masuk bagi orang-orang tidak mampu secara ekonomi untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Paradoks perkembangan ekonomi ini yang seharusnya menjadi perhatian bersama dalam peringatan satu abad Kebangkitan Nasional.

Keprihatinan ini sepatutnya mendorong pemerintah untuk mengkaji lebih baik kebijakan ekonomi yang lebih berpihak kepada rakyat miskin. Keinginan pemerintah untuk menaikkan harga BBM atau dengan kata lain mengurangi subsidi dengan alasan beban APBN yang sudah terlalu berat dan alasan subsidi BBM yang juga dinikmati oleh orang-orang berduit merupakan bentuk penindasan secara tidak langsung terhadap rakyat miskin. Banyak pihak yang telah memberikan usulan alternatif selain pilihan untuk menaikkan harga BBM, namun pemerintah lebih suka terhadap pilihannya. Relatif lebih adil menurut saya apabila penghapusan (bukan pengurangan) subsidi ini dikenakan kepada pemilik mobil-mobil pribadi dan para pejabat pemerintahan maupun anggota dewan yang kurang terhormat.

Di sisi lain, kondisi perbedaan ekonomi antara provinsi atau daerah satu dengan yang lainnya tidak berbeda jauh antara sebelum dan sesudah Reformasi 1998 bergulir. Artinya pergantian pemerintahan dari otoritarian-birokratik ke demokratik-liberal belum membawa kemajuan signifikan dalam pelaksanaan desentralisasi ekonomi. Pada masa Pak Harto hampir mayoritas pendapatan daerah dinikmati oleh pusat. Sedangkan sekarang ini, meskipun informasinya sudah ada pembagian berimbang antara pusat dan daerah, pada kenyataannya beberapa daerah di luar Pulau Jawa tetap terbelakang dalam segala hal. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila gerakan-gerakan separatis di beberapa daerah masih bertahan selama pemerintah negeri ini masih belum adil dan sadar bahwa Republik Indonesia ini bukan hanya Pulau Jawa.

Sebesar apapun acara yang diadakan pemerintahan SBY-JK untuk memperingati Satu Abad Kebangkitan Nasional tidak akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan maju. Karena pada kenyataanya, pilihan-pilihan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah selaku pemimpin bangsa ini masih berdasarkan pemikiran-pemikiran yang sempit dan jiwa yang kerdil. Pemikiran untuk memberikan kompensasi BBM dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) merupakan salah satunya. Dengan memberikan rakyat miskin per bulan seratus ribuan, pemerintah berfikir dapat menuntaskan masalah. Padahal kebijakan itu justru mendidik masyarakat untuk menjadi masyarakat pengemis dan pemalas. Lebih baik, menurut hemat saya, kompensasi diberikan dalam bentuk beasiswa pendidikan penuh atau beasiswa penelitian kepada masyarakat tidak mampu yang tentunya harus dilakukan dengan pengelolaan yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, kompensasi BBM dapat dijadikan sebagai modal untuk mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak sehingga tingkat pengangguran dapat dikendalikan.

Sebagai penutup, slogan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional, Indonesia Bisa!, memunculkan pandangan yang mendua yaitu Indonesia Bisa Bangkit atau Indonesia Bisa Terpuruk. Keputusan untuk memilih ada ditangan pemimpin dan yang dipimpin. Indonesia bisa bangkit jika pemimpinnya arif dan bijaksana, dan rakyatnya kritis terhadap segala sesuatu serta meninggalkan budaya malas. Indonesia bisa terpuruk jika pemimpinnya hanya memikirkan dirinya, keluarganya, kelompoknya, dan partainya sendiri, dan rakyatnya terlalu mentolerir penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat maupun di pemerintahan.

Andi Kurniawan
Alumnus FISIP-HI Universitas Jember