Tuesday, December 29, 2009

Menjelang Indonesia-China FTA


Menjelang Indonesia-China FTA
Jum'at, 25 Desember 2009 18:59

Implementasi kerjasama perdagangan bebas Indonesia-Cina adalah rangkaian kerjasama perdagangan organisasi kawasan ASEAN dengan Republik Rakyat Cina (RRC) yang ditandatangani pada Nopember 2004, ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Hal ini tentunya akan berdampak terhadap perekonomian dalam negeri, khususnya industri-industri dalam negeri yang belum siap berkompetisi secara bebas dengan Cina, seperti industri tekstil, industri besi dan baja, serta industri elektronik. Di industri tekstil, menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), sepanjang tahun 2007, volume import garmen mencapai 950,000 ton atau hampir 80 persen dari total konsumsi garmen di dalam negeri yaitu 1,220,000 ton. Pada tahun 2008, API juga menyebutkan bahwa 70 persen pangsa pasar tekstil domestic sudah dikuasai oleh produk-produk impor yang sebagian besar diimpor secara illegal dan diduga dari Cina. Di industri besi dan baja, menurut Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), sebelum implementasi perdagangan bebas Indonesia-Cina Januari mendatang, produk-produk besi dan baja Cina telah menguasai proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 10,000 megawatt yang sedang dikerjakan oleh Pemerintah. Di industri elektronik, Electronic Marketer Club (EMC) menilai banjir impor produk elektronik, terutama dari Cina, akan terus berjalan, bahkan dengan harga yang lebih murah daripada harga produk-produk eletronik buatan dalam negeri. Dengan kondisi ini maka tidak mengherankan apabila Indonesia telah mengalami neraca perdagangan (balance of trade) negatif dalam sector non-migas dengan Cina sejak 2005. Neraca perdagangan ini bahkan terus memburuk dengan melonjaknya impor non-migas dari Cina pada tahun 2008 yang mencapai US$14.9 milyar, atau hampir 80 persen lebih besar daripada impor non migas dari Cina pada tahun 2007 yaitu US$7.9 milyar. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah semakin terpuruknya industri dalam negeri?

Tiga pemain utama harus bersinergi untuk mengatasi persoalan ini yaitu Pemerintah, produsen, dan konsumen. Pemerintah, sebagai penyelenggara negara, harus bertanggungjawab penuh atas permasalahan ini, karena telah memutuskan untuk terus merealisasikan perdagangan bebas dengan Cina. Pemerintah harus berupaya membantu produsen untuk memproduksi dengan ongkos produksi yang lebih murah, sehingga harga jual produk juga bisa lebih murah. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah mulai dari insentif pajak hingga mengembangkan investasi di industri bahan baku untuk mengurangi ketergantungan bahan baku impor yang acapkali dipengaruhi oleh fluktuasi rupiah terhadap mata uang asing. Faktor harga seringkali menjadi alasan mengapa produk-produk impor dari Cina lebih laku di pasaran.

Selain Pemerintah, produsen juga harus membuat terobosan-terobosan strategi pemasaran yang lebih jitu dalam bersaing dengan produk-produk dari Cina. Namun, strategi apapun yang digunakan produsen untuk menjual produknya bisa jadi sia-sia apabila produsen masih terus berfikir untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari penjualan produknya. Cara berfikir seperti ini merupakan alasan utama para produsen untuk menjual produknya dengan harga jauh lebih tinggi daripada harga produksi. Hasilnya, produk-produk buatan Indonesia akan tetap dianggap lebih mahal dari produk-produk buatan Cina yang dianggap ‘murah meriah’. Di sisi lain, menurunkan target keuntungan bukan berarti harus menurunkan kualitas suatu produk karena produsen harus terus menjaga dan meningkatkan kualitas untuk berkompetisi di pasar yang sangat terbuka nanti.

Terakhir dan yang terpenting adalah konsumen, karena tanpa ada pembelian, produsen bisa merugi. Oleh sebab itu, rasa nasionalisme kita diuji untuk saling membantu dan menolong dengan membeli produk negeri sendiri. Jangan hanya karena factor harga, lalu kita lebih memilih produk-produk buatan Cina, tetapi juga pikirkan masa depan industri dalam negeri dan jutaan pekerja beserta keluarga mereka yang bergantung hidup dari industri-industri ini. Dampaknya bahkan bisa meluas menjadi masalah sosial seperti pengangguran dan kemiskinan.

Semoga bangsa Indonesia bisa menghadapi kompetisi ini.

Andi Kurniawan
Staf Pengajar Fisip Universitas Jakarta

Dikutip dari:Berita Kota
http://www.beritakota.co.id/berita/opini/22473-menjelang-indonesia-china-fta.html  

Thursday, September 17, 2009

Kasus Bank Century Terus Bergulir…

Kasus Bank Century berawal dari kegagalan bank tersebut dalam memenuhi prefund kliring (transaksi antar bank) di Bank Indonesia pada 13 November 2008 (Kontan, 14/11/2008), seperti yang diakui oleh manajemen bank tersebut. Dalam pengakuannya, Manajeme Bank Century menyampaikan bahwa bank tersebut hanya terlambat 15 menit saat harus memenuhi dana prefund kliring sebesar Rp5 miliar yang seharusnya ditransfer pada pukul 08.00 WIB. Sehingga manajemen Bank Century mengumumkan bahwa pihaknya mengalami kalah kliring karena tingginya intensitas transaksi dana masuk dan dana keluar nasabah sehubungan dengan ketatnya likuiditas saat ini (Kompas, 13/11/2008). Pada saat yang bersamaan, Muliaman D Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengaku tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Dia mengatakan semua bank, baik besar maupun kecil, saat ini dalam pengawasan BI agar persoalan likuiditas ini bisa dikendalikan secara baik (Kompas, 13/11/2008).

21 November 2008, akhirnya Gubernur Bank Indonesia Boediono mengumumkan bahwa BI melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) memutuskan pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), terhitung sejak tanggal tersebut. Boediono menyatakan bahwa pengambilalihan ini untuk lebih meningkatkan keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah (Kompas, 21 November 2008). Keputusan pemerintah untuk mengambil alih Bank Century ternyata juga menuai kontroversi yang salah satunya adalah dari ICW (Indonesian Corruption Watch). LSM ini mengajukan beberapa pertanyaan kepada Gubernur BI terkait pengambilalihan itu, diantaranya adalah apakah Bank Indonesia telah melakukan penyelidikan secara seksama terhadap kondisi keuangan Bank Century? Padahal, menurut ICW, berdasarkan laporan keuangan Bank Century yang sudah dipublikasi pada 30 September 2008, 29,7% aktiva bank tersebut diinvestasikan dalam bentuk surat berharga, valuta asing dan rupiah. ICW menilai bahwa sebagian asset Bank Century tidak bisa dijual (non-tradable) dan kemungkinan bodong (Detik News, 26 November 2008). Kedua, ICW berpendapat seharusnya BI juga mempertimbangkan larinya salah seorang pemilih saham pengendali Bank Century Robert Tantular ke luar negeri. ICW merujuk kepada pengalaman kasus BLBI, pemilik yang telah melarikan diri dari Indonesia membuat penyelesaian kasusnya berlarut-larut dan sebagai konsekuensinya negara harus menanggung beban kerugian. Ketiga, dari segi asset dan operasionalnya, ICW menilai bahwa kolapsnya Bank Century tidak akan mempengaruhi perekonomian Indonesia dengan significan. Oleh sebab itu, ICW menganggap pengambilalihan Bank Century sebagai perlindungan dan subsidi kepada segelintir orang kaya di Indonesia.

Meskipun Bank Indonesia menyadari bahwa kondisi kesehatan Bank Century dalam keadaan buruk, LPS meminta nasabah tak perlu panic karena lembaga tersebut akan menjamin seluruh kebutuhan likuiditas Bank Century dengan alokasi dana sebesar Rp1 trilliun. Kondisi kesehatan Bank Century yang buruk terlihat dari rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) yang sudah minus 2.3%, saat diambil alih oleh LPS. Angka tersebut jauh dari persyaratan BI yaitu 8%, dan jauh dari angka CAR Bank Century pada September 2008 yaitu 14.76%. Siti Fadjriah, Deputi Gubernur BI, mengakui bahwa koleksi surat berharga valuta asing Bank Century adalah penyebab anjloknya angka CAR bank itu. Menurutnya, surat berharga itu tidak masuk dalam kategori layak investasi (Kontan, 23 November 2008). Nilai surat utang berkualitas rendah tersebut berjumlah US$140 juta, dan per November 2008 sejumlah US$56 juta telah gagal bayar.

Berdasarkan data LPS, suntikan dana yang telah dikucurkan oleh lembaga tersebut kepata Bank Century sebanyak empat kali yaitu: (i) Rp2,77 trillion (21 November 2008), (ii) Rp2,20 trillion (5 Desember 2008), (iii) Rp1,15 trillion (3 Februari 2009), (iv) Rp630 milliar. Sehingga total dana yang telah dikucurkan adalah Rp6,77 trillion.

Bukti ketidakberesan manajemen Bank Century dalam menjalankan operasionalnya semakin terlihat ketika ditetapkannya status tersangka kepada mantan Direktur Utama Bank Century, Hermanus Hasan Muslim pada 27 November 2008. Berdasarkan pemeriksaan Polisi, Hermanus dianggap telah melanggar Pasal 49 Ayat 1 atau 2 UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan. Hermanus terbukti telah menjalankan permintaan dari tersangka sebelumnya yaitu Robert Tantular (Kontan, 28 November 2008).

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla secara tegas meminta setiap bank untuk serius menjamin dana nasabah. Sehingga beban resiko terhadap dana nasabah, apalagi dalam krisis financial seperti sekarang, tidak saja dipikul oleh pemerintah melainkan juga kalangan perbankan swasta. Pernyataan Kalla secara tidak langsung berkaitan dengan kasus Bank Century yang berstatus bank swasta, namun Pemerintah harus menanggung permasalahan yang dihadapi oleh bank itu. Lebih dari itu, Wapres Jusuf Kalla juga mencoba membandingkan kasus Bank Century dengan kasus BLBI, dimana awalnya bantuan keuangan diberikan atas dasar niat baik untuk membantu perbankan, akan tetapi dalam pelaksanaanya banyak terjadi penyimpangan. Oleh sebab itu, JK berharap kasus BLBI tidak terulang dalam kasus Bank Century. Kalla mengatakan apabila semua jaminan dana nasabah itu dibebankan pada pemerintah, maka risikonya nanti dibayar lewat uang pajak, seperti yang terjadi pada kasus BLB. Singkatnya, Kalla sudah menunjukkan keberatannya atas keputusan ‘pemerintah’ untuk mengambil alih Bank Century. Menurut Kalla, Pemerintah telah membantu untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan di tengah krisis dengan meningkatkan garansi deposito dari Rp100 juta menjadi Rp2 milliar pada 2 Februari 2008 (Kontan, November 29, 2009).

Kasus Bank Century ternyata tidak hanya sekedar masalah internal, ternyata dugaan atas lemahnya pengawasan dan koordinasi antara Bank Indonesia (BI) dan Bapepam-LK terbukti dengan mencuatnya masalah penggelapan dana investasi PT Antaboga Sekuritas di Bank Century. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1989 ini diadukan para nasabah ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Beberapa manajemen perusahaan itu diduga menggelapkan uang milik investor. Kerugian sementara yang diderita para investor adalah Rp233 miliar. Kerugian ini, menurut Polisi kemungkinan akan bertambah. “Nasabah dari Bali, dua orang (rugi) Rp23 miliar. Tiga orang nasabah dari Medan Rp60 miliar. Dan 60 nasabah yang di Kelapa Gading Rp150 miliar,” papar Kadiv Humas Mabes Polri Abu Bakar Nataprawira (Hukum Online, 4 Desember 2008).

Kisruh di Antaboga berawal dari kasus yang terjadi di PT Bank Century Tbk. Ketika operasional Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ratusan nasabah Antaboga mendatangi kantor perusahaan tersebut. Mereka ingin menarik dananya yang diinvestasikan di reksa dana. Pasalnya, produk investasi yang diterbitkan Antaboga, dipasarkan oleh Bank Century. Nasabah Antaboga kebanyakan adalah nasabah Bank Century. Mereka diminta menandatangani sertifikat reksadana di kantor Bank Century. Rata-rata nasabah ditawari tiga bulan dengan suku bunga (keuntungan) 10,5 - 13 persen.

Sebelum diambil alih (per September 2008) Antaboga merupakan pemilik 7,44 persen saham Bank Century. Antaboga kabarnya juga masih terafiliasi dengan Bank Century. Anton Tantular adalah adik kandung Robert Tantular yang sekarang mendekam di penjara lantaran tersangkut kasus Bank Century. Sedangkan, Hartawan Aluwi adalah ipar Robert. Robert dan Hartawan merupakan menantu Sukanta Tanudjaja, mantan pemilik PT Great River (Hukum Online Desember 2008).

JUSUF KALLA VS. MULYANI

Sebenarnya kalau melihat kronologis kasus ini sejak awal, perseteruan antara adalah Jusuf Kalla versus Sri Mulyani adalah sesuatu yang lumrah. Karena kedua-duannya tidak ingin disalahkan apabila terjadi penyimpangan dalam penanganan kasus ini. Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit terhadap Bank Century (Detik Finance, 30 Agustus 2009). KPK mengatakan bahwa lembaga pemburu koruptor itu sudah melayangkan surat permintaan audit Century sejak Juni 2009, karena ada pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan dana penyertaan LPS yang membengkak hingga Rp6.77 trillion di Bank Century. Pada awalnya, penyertaan dana tahap pertama sebesar Rp2.77 trillion itu atas sepengetahuan DPR. Namun, sisanya dilakukan tanpa sepengetahuan DPR dan konon digunakan untuk membayar deposito nasabah yang jatuh tempo (Detik Finance, 30 Agustus 2009).

Oleh Andi Kurniawan, disarikan dari berbagai sumber