Tuesday, January 24, 2006

The Children of Heaven

Once upon a time in Serambi Mecca, live of a family which earned only from fishing. The family named Puteh which was name of the father and Bunda for the mother. They had two children, a boy and a girl, who called respectively by Ibnu and Mutia. As a father, Puteh was one of toughest man in the world who almost spent his lifetime fishing and working for his family.
“I want you to be useful people for the country, religion, and society” Puteh said to his children. But Mutia then asked to the father “why we should be?” “Of course”, Puteh replied, “that was the meaning of life, we were created to lead ourselves and our world”
But Ibnu seemed tedious listen such words. He had listened it for hundred times since he was six years old.
Meanwhile, the time showed at 06.00 AM, “hey!!! This is time to go to school Ibnu” Bunda ordered to the children. “But we have no breakfast yet Bunda! We are hungry” Mutia said. “Okay!! I have made a bottle of tea for you both, it is better than you don’t have anything to keep your hungry”, Bunda replied immediately.
As a traditional custom, before leaving the house Ibnu and Mutia used to kiss her parents hand and say Salam. “Take care!!! Don’t be late okay” Puteh showed his attention.
The school was far away from the house, they must take scurry for about 15 kilometers. Undeliberately, when they were walking in a small river, Mutia slipped and she cried. Her leg was bleeding, she couldn’t walk well. “Stop Crying!!!” Ibnu ordered to his sister. Then, he endeavored to stop the bleeding. “Okay, now I would pick you up to the school” Ibnu tried to calm down his sister.
07.30 AM, they were late. “Excuse me Madam, I am late” Mutia seemed very frightened of her teacher. “Why you are late?” the teacher clamored. She didn’t answer the question, but she commencing crying again. The teacher heran when she knew that Mutia was crying. She started finding the reason why Mutia cried and she found that. She looked up the Mutia’s leg which bleeding. “Please don’t cry okay!!” the teacher let her sit for the pity.
On the contrary, Ibnu was scolded and punished for his late. His teacher ordered him standing in front of the class. Then most of his friend laughed at him. Fortunately, it was the English lesson in which he was prominent with his talent to speak.
“What does the Indonesian Archipelago stand for?” the teacher asked to student. The class was mute and the teacher repeatedly asked the question. But they still had no answer until the teacher looked very angry. She beat a table that shocked most of students. “Sorry Mam!!!” Ibnu raised his hand. “I think it means Kepulauan Indonesia” Ibnu answered the question. “Good son! You are right, okay you may sit now” the teacher appreciated him.
The bell was ringing, the time was 01.00 p.m. But the sky was gloomy. It was very unusual, it was
Kelemahan-kelemahan Perspektif Merkantilisme dan Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional
Oleh: Kurniawan (01-1229)

Dalam studi Ekonomi Politik Internasional dikenal dua perspektif yang seringkali melatarbelakangi perdebatan mengenai fenomena dunia kontemporer yaitu Merkantilisme dan Liberalisme. Di satu sisi, Merkantilisme menganggap bahwa untuk menjadi kaya dan makmur suatu negara harus meningkatkan ekspor sebesar-besarnya dan membatasi impor dengan ketat melalui beberapa kebijakan yang lazim dikenal dengan istilah proteksionisme. Di sisi lain, Liberalisme menganggap bahwa mekanisme harga dan kebebasan pasar (free market) merupakan syarat utama dalam peningkatan ekonomi dunia. Secara sederhana, kedua perspektif itu sama-sama bertujuan untuk membawa dunia ke arah yang lebih baik. Lalu bagaimana dengan kelemahan-kelemahan masing-masing perspektif?


Merkantilisme
Secara historis, Merkantilisme adalah suatu perspektif ekonomi yang tumbuh dan berkembang dengan pesat pada abad ke-16 sampai abad ke-18 di Eropa Barat. Beberapa ide pokok Merkantilisme diantaranya adalah, pertama, suatu Negara/Raja akan kaya/makmur dan kuat bila ekspor lebih besar daripada impor (X>M). Kedua, keuntungan yang diperoleh dari selisih (X-M) atau ekspor netto yang positif tersebut diwujudkan dengan pemasukan logam mulia (LM), terutama emas dan perak dari luar negeri. Oleh karena itu, semakin besar eskpor netto, maka akan semakin banyak LM yang dimiliki atau diperoleh dari luar negeri. Ketiga, saat itu LM (emas maupun perak) digunakan sebagai alat pembayaran (uang), sehingga negara/raja yang memiliki LM yang banyak akan kaya/makmur dan kuat.
Untuk mewujudkan ide-ide tersebut, negara-negara harus mendorong ekspor sebesar-besarnya (kecual LM) dan melarang/membatasi impor dengan ketat (kecuali LM). Dalam konteks kontemporer, kebijakan ini berwujud hambatan tarif (tariff barriers) maupun hambatan non-tarif (non-tariff barriers) yang dapat membatasi impor produk-produk luar negeri. Hambatan tarif umumnya berbentuk tarif bea masuk yang dikenakan kepada produk-produk impor dan menyebabkan semakin mahal harga jualnya di dalam negeri dibandingkan dengan produk negara itu sendiri. Sedangkan hambatan non tarif dapat berbentuk regulasi maupun kuota yang dapat mempersempit ruang impor suatu negara.
Tetapi kelemahan dari perspektif ini adalah seperti yang dikemukakan oleh David Hume dalam kritiknya terhadap Merkantilisme. Ia mengatakan bahwa ide atau pokok pikiran dari merkantilisme adalah suatu negara atau raja akan menjadi makmur dan kaya jika nilai ekspornya akan lebih besar daripada nilai impornya. Sehingga jumlah logam mulia (LM) yang dijadikan sebagai alat pembayaran akan semakin banyak. Sederhananya kekayaan suatu negara/raja akan ditentukan oleh seberapa banyaknya jumlah LM yang dimilikinya.
Semakin banyaknya LM sebagai suatu konsekuensi dari tingginya nilai ekspor sama dengan semakin banyaknya Money supply (Ms) atau jumlah uang yang beredar. Secara teoritis, bila Money supply (Ms) atau jumlah uang beredar meningkat, sedangkan jumlah produksi tetap/tidak berubah, tentu akan terjadi inflasi kenaikan harga. Kenaikan harga di dalam negeri tentu akan menaikkan harga barang-barang ekspor (Px), sehingga kuantitas ekspor (Qx) akan menurun).
Semakin banyaknya jumlah uang beredar atau Money supply (Ms) yang diiringi dengan meningkatnya inflasi di dalam negeri tentu akan menyebabkan harga barang impor (Pm) menjadi lebih murah sehingga permintaan terhadapnya (Qm) akan meningkat. Perkembangan seperti itu akan menyebabkan nilai ekspor (X) lebih kecil daripada impor (M). Dengan kata lain, nilai impor akan lebih besar daripada nilai ekspor (M>X), sehingga jumlah LM yang dimiliki suatu negara akan berkurang. Dengan berkurannya LM yang dimiliki, berarti negara/raja menjadi miskin karena LM identik dengan kekayaan dan kemakmuran. Kritik David Hume ini dikenal dengan istilah Price Specie Flow Mechanism.

Liberalisme
Secara historis, Liberalisme muncul sebagai reaksi perlawanan terhadap sikap penganut paham Merkantilis pada pertengahan abad XVIII. Di Perancis, ahli ekonomi menyebut gerakan ini sebagai gerakan Physiocrats yang menuntut kebebasan produksi dan berdagang. Di Inggris, ahli ekonomi Adam Smith menjelaskan dalam bukunya (the Wealth of Nations 1776) mengenai keuntungan untuk menghapus pembatasan-pembatasan dalam perdagangan. Selain itu, ahli ekonomi dan para pelaku bisnis menyuarakan oposisi mereka terhadap semakin tingginya bea pabean yang menjadi penghalang serta mengusulkan negosiasi perjanjian dagang dengan kekuatan-kekuatan asing. Perubahan sikap ini mendorong ditandatangani sejumlah persetujuan liberalisasi perdagangan (Anglo-French Agreement 1786) dan mengakhiri perang ekonomi antara kedua negara.[1]
Berdasarkan the New Lexicon Websters’s Dictionary of the English Language, liberalism berasal dari kata liberal yang bermakna menganggap baik kebebasan individu, reformasi sosial, dan penghapusan atas pembatasan-pembatasan dalam ekonomi.[2] Maka kata liberalisme dapat dimaknai sebagai suatu paham yang menekankan kebebasan individu dalam dinamika hubungan masyarakat serta sistem ekonomi yang bebas dan terbuka. Begitu pula dalam sudut pandang sejarah hubungan internasional, Perspektif Liberal merupakan pemikiran yang mengakar pada Ideologi Liberalisme.[3] Ideologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualisme dan kesetaraan.[4]
Sedangkan Perspektif Liberal dalam ekonomi merupakan pandangan yang mendorong kebebasan pasar dan minimalisasi peran negara. Oleh sebab itu, Perspektif Liberal menempatkan individu sebagai fokus utama dalam ekonomi agar dapat meningkatkan efisiensi dan memaksimalisasi keuntungan. Argumentasi ini diperkuat dengan suatu premis yang sangat mendasar dalam Perspektif Liberal bahwa konsumen perseorangan, perusahaan, atau rumah tangga merupakan basis dari perekonomian masyarakat. Individu-individu dianggap rasional dan berusaha untuk memaksimalisasi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan tingkat biaya serendah-rendahnya.[5]
Dalam perkembangannya, perspektif liberal memfokuskan kepada tiga permasalahan yang dipandang sebagai faktor-faktor penentu dalam perekonomian global yaitu lack of resources dalam perekonomian, lack of international trade yang melihat bahwa negara-negara dunia ketiga terkadang menjaga otonomi nasionalnya dan memproteksi pasar mereka dengan membatasi perdagangan dengan negara-negara industri, dan permasalahan government intervention.
Tetapi liberalisme yang dapat dikatakan sebagai anti-tesis dari merkantilisme dalam ekonomi juga memiliki beberapa kelemahan. Pertama, penerapan liberalisme dalam perekonomian dunia dapat membuat dunia ke dalam tatanan yang cenderung tidak adil. Liberalisasi berbagai sektor perekonomian akan menciptakan persaingan bebas dalam pasar dunia. Artinya disaat persaingan bebas terjadi, maka negara-negara yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif tinggi akan semakin kuat, sedangkan yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif rendah akan semakin lemah.
Misalnya dalam hal impor, ketika kebijakan liberalisasi diterapkan, maka produk-produk dalam negeri akan terancam keberadaannya. Harga produk-produk impor yang lebih murah akan diiringi dengan meningkatnya permintaan terhadap produk-produk tersebut. Sehingga permintaan produk-produk dalam negeri cenderung menurun, bahkan tidak lagi dapat berproduksi alias “bangkrut”. Kebangkrutan produksi ini akan menyebabkan semakin banyaknya pengangguran yang dapat menimbulkan gejolak sosial.
Kedua, liberalisme akan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara negara yang kaya dengan negara yang miskin. Salah satu contohnya adalah kebijakan privatisasi BUMN suatu negara yang dibeli oleh negara asing sebagai suatu konsekuensi dari liberalisasi. Karena negara “menganggap” dirinya tidak mampu lagi mengelola dan membiayai proses produksi BUMN tersebut. Padahal BUMN umumnya merupakan badan atau perusahaan-perusahaan yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengaruh negara asing akan sangat kuat terhadap negara tersebut. Lebih dari itu, kecenderungan penjajahan dalam bentuk baru bisa saja terjadi.
Ketiga, di dalam sistem mekanisme pasar akan timbul kekuatan monopoli yang merugikan. Dalam mekanisme pasar tidak selalu terjadi persaingan sempurna di mana harga dan jumlah barang ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Di dalam perekonomia yang sangat modern—seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa Barat—perusahaan-perusahaan raksasa dapat menguasai pasar. Mereka mempunyai kekuasaan yang sangat besar di pasar dalam menentukan harga, dan menentukan jenis dan jumlah barang yang ditawarkan. Mereka juga dapat membatasi produksi pada tingkat di mana mereka akan memperoleh keuntungan yang maksimum. Keempat, sistem perekonomian liberal cenderung membawa ketidakstabilan. Ketidakpastian harga maupun nilai kurs yang cenderung tidak teratur memperbesar ketidakpastian dalam ekonomi.[6]

DAFTAR BACAAN
Buku :
Gilpin, Robert. 1987. Theories of Political Economy of International Relations. New Jersey: Princeton University Press.
Hady, DR. Hamdy. 2001. Ekonomi Internasional; Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Erlangga.
Sukirno, Sadono. 1999. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Rajawali Press.
CD dan Internet:
Friedman, Milton. 1993-2001. Liberalism. Microsoft Encarta Encyclopedia 2002. Microsoft Corporation. All rights reserved
Gay, Peter. 1993-2001. Microsoft Encarta Encyclopedia 2002. Microsoft Corporation. All rights reserved
http://www.britannica.com/eb/article233673?query=AngloFrench%20Agreement%201786&ct=





[1] http://www.britannica.com/eb/article-233673?query=Anglo-French%20Agreement%201786&ct=, diakses pada 02 Januari 2006
[2] The New Lexicon Webster’s Dictionary of the English Language
[3] Peter Gay, Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[4] Milton Friedman, Liberalism, Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved
[5] Robert Gilpin, Theories of Political Economy of International Relations, The Princeton University Press, New Jersey 1987, p.26-31.
[6]Sadono Sukirno. Pengantar Teori Mikroekonomi. 1999. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 46
Implikasi Perubahan Sistem Nilai Tukar Mata Uang dari Fixed Exchange Rate ke Flexible Exchange Rate Terhadap Investasi dan Perdagangan
Oleh: Kurniawan (01-1229)

I. Dari Standar Emas Hingga Keruntuhan Sistem Bretton Woods.

Perubahan nilai tukar dalam sistem moneter internasional telah menjadi suatu isu penting dalam studi Ekonomi Politik Internasional. Karena dalam kenyataannya perubahan sistem nilai tukar tidak hanya dipandang sebagai suatu permasalahan ekonomi, tetapi juga menjadi sangat politis karena berkaitan erat dengan kepentingan masing-masing negara.
Secara historis, sistem moneter internasional telah mengalami empat periode sejak pertengahan 1870an. Periode pertama adalah pada pertengahan 1870an hingga 1914 ketika negara-negara menggunakan standar emas dalam sistem nilai tukar. Lalu periode kedua terjadi diantara dua Perang Dunia. Periode ketiga terjadi setelah Perang Dunia II dimana kurs dibakukan oleh perjanjian Bretton Woods dan periode selanjutnya ditandai dengan keruntuhan sistem Bretton Woods yaitu pada saat konversibilitas dollar terhadap emas tidak berlaku lagi pada awal tahun 1973.
Pertengahan 1870an adalah periode awal dari penggunaan sistem nilai tukar tetap dalam sistem moneter internasional. Dalam sistem nilai tukar ini, nilai uang ditentukan berdasarkan beratnya emas atau lazim disebut dengan standar emas (gold standart exchange rate). Secara historis, penggunaan emas sebagai standar dalam nilai tukar sudah berlangsung di zaman kuno. Namun terciptanya standar emas sebagai institusi legal baru dimulai pada tahun 1819 yaitu ketika Parlemen Inggris memberlakukan Resumption Act.
Resumption Act adalah undang-undang yang mengharuskan Bank of England memulai kembali kegiatannya untuk menukar uang kertas dengan emas yang sempat terhenti selama empat tahun akibat dari Perang Napoleon (1793-1815).
Periode kedua adalah masa diantara Perang Dunia I dan II (1918-1939). Pada periode ini negara-negara “terpaksa” harus melepaskan ketergantungan mereka terhadap emas. “Keterpaksaan” ini ditimbulkan oleh beberapa faktor diantarannya adalah permasalahan hiperinflasi, fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil, dan devaluasi.
Meskipun negara-negara telah berupaya untuk kembali menetapkan standar emas, tetapi Depresi Hebat (Great Depression) yang melanda Inggris akibat dari stagnasi perekonomiannya pada tahun 1920an telah menjadi kendala utama dalam hal ini. Melemahnya perekonomian Inggris membuktikan sulitnya upaya untuk mengembalikan stabilitas ala standar emas.
Periode ketiga diawali dengan pertemuan para wakil dari 44 negara yang berlangsung pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hemisphere, Amerika Serikat. Pertemuan ini merupakan momentum kelahiran sistem Bretton Woods yang ditandai dengan pembentukan IMF-International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) sebagai lembaga keuangan internasional yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dunia pasca Perang Dunia. Beberapa misi dari terbentuknya lembaga ini adalah menjamin terciptanya full employment dan stabilisasi harga, sekaligus memungkinkan semua negara mencapai keseimbangan eksternal tanpa melakukan pembatasan perdagangan.
Sistem Bretton Woods adalah suatu sistem yang mensyaratkan kurs mata uang dipatok dalam emas atau dollar Amerika Serikat. Dalam sistem ini bank-bank pemerintah tiap negara selain AS bertugas untuk menjaga nilai kurs mata uang mereka dan dolar. Untuk itu mereka melakukan intervensi pasar mata uang asing. Bila mata uang satu negara terlalu tinggi terhadap dolar, maka bank pemerintahnya harus menjual mata uangnya dengan dolar agar menjaga nilai tukarnya. Sebaliknya, bila mata uangnya terlalu rendah, mereka harus membeli mata uang mereka sendiri agar menaikkan kembali nilainya. Terkadang sistem ini juga disebut sebagai sistem adjustable peg yang bertujuan untuk memastikan stabilitas nilai tukar maksimum, namun dapat juga memfasilitasi perubahan-perubahan disaat terjadinya devaluasi kompetitif.
Periode keempat adalah masa keruntuhan sistem Bretton Woods yaitu pada saat nilai dolar jatuh akibat dari inflasi dan melambungnya defisit perdagangan Amerika Serikat. Dalam hal ini, AS mendesak Jerman dan Jepang yang kedua-duanya memiliki neraca pembayaran yang bagus untuk mengapresiasi mata uang mereka. Namun pada kenyataannya, kedua negara tersebut enggan untuk melakukan hal tersebut, karena menaikkan nilai mata uang sama dengan menaikkan harga-harga produk yang dapat menggangu aktivitas ekspor.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya AS meniadakan nilai tukar dolarnya dan membiarkannya floating (mengambang) yang menyebabkan jatuhnya nilai dolar dengan cepat. Padahal para pemimpin dunia telah berusaha membangkitkan kembali sistem Bretton Woods dengan membuat kesepakatan Smithsonian tahun 1971, akan tetapi usaha tersebut tetap tidak mampu membendung perubahan yang terjadi dalam sistem nilai tukar dunia. Babak inilah yang mengawali sistem nilai tukar mata uang fleksibel (flexible exchange rate) atau lebih tepatnya disebut sebagai floating exchange rate (rezim nilai tukar mata uang mengambang).



II. Pengaruh Sistem Nilai Tukar Mata Uang Tetap (Fixed Exchange Rate) Terhadap Investasi dan Perdagangan.

Sistem nilai tukar mata uang tetap (fixed exchange rate system) adalah sistem di mana nilai tukar antar mata uang ditentukan dari awal dan tidak bergerak walaupun terjadi perubahan dalam permintaan dan persediaan.[1] Sistem ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan dalam perekonomian makro, khususnya dalam perdagangan dan investasi.[2]
Secara sederhana, sistem ini dapat menghilangkan ketidakpastian dalam kegiatan perdagangan dan investasi internasional. Karena semua bank sentral diwajibkan untuk membakukan kursnya terhadap emas atau mata uang tertentu. Sehingga negara-negara tidak “semena-mena” untuk memperbesar tingkat penawaran uang riil, lagipula tindakan seperti ini pada akhirnya akan meningkatkan harga dari berbagai barang dan jasa, termasuk emas.[3]
Dengan demikian sistem ini memberlakukan batasan-batasan otomatis kepada setiap bank sentral untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan naiknya tingkat harga nasional melalui kebijakan moneter ekspansif. Pengaruhnya adalah nilai mata uang riil nasional lebih stabil dan predictable. Sehingga para pelaku perdagangan dan investasi tidak lagi perlu khawatir terhadap ketidakpastian yang disebabkan oleh fluktuasi kurs mata uang.[4]
Selain itu, sistem nilai tukar mata uang tetap juga cenderung membantu tumbuhnya perdagangan internasional yang teratur. Karena sistem ini melarang terjadinya depresiasi mata uang yang pernah terjadi selama Depresi Hebat (Great Depression). Dengan asumsi apabila masing-masing negara dibiarkan untuk menentukan kursnya sendiri secara bebas, maka tidak menutup kemungkinan sejarah kelabu itu akan berulang.
Di sisi lain, kelemahan dari sistem ini dapat dilihat dari penggunaan standar emas sebagai suatu patokan pada sejarah awal lahirnya sistem ini. Dengan standar emas, negara-negara tidak bisa mengontrol pasokan uang mereka. Karena dalam kenyataannya justru pasokan uang mereka yang ditentukan oleh jumlah peredaran emas dalam bertransaksi dengan negara lain. Selain itu, kebijakan moneter negara-negara yang termasuk didalamnya investasi dan perdagangan sangat dipengaruhi oleh seberapa cepatnya jumlah emas yang dapat diproduksi. Hal ini terbukti pada dasawarsa 1870an dan 1880an ketika produksi emas masih rendah dan peredaran uang dunia masih terlalu lambat untuk mengikuti pertumbuhan ekonomi. Akibatnya adalah terjadi deflasi atau penurunan harga. Sedangkan penemuan emas di Alaska dan Afrika Selatan pada dasarwasa 1890an justru menyebabkan pasokan meningkat tajam yang memicu terjadinya inflasi dan kenaikan harga.[5]

III. Pengaruh Sistem Nilai Tukar Mata Uang Fleksibel (Flexible Exchange Rate System) Terhadap Investasi dan Perdagangan.

Secara konseptual, Sistem Nilai Tukar Mata Uang Fleksibel (Flexible Exchange Rate System) adalah suatu sistem di mana nilai tukar mata uang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan persediaan pasar, tanpa adanya intervensi. Dalam sistem ini untuk menghasilkan penyesuaian neraca pembayaran hanya dibutuhkan perubahan nilai tukar dan bukan perubahan dalam semua harga internal seperti yang diperlukan pada sistem nilai tukar tetap dan standar emas.[6]
Tetapi tidak berbeda dengan sistem nilai tukar tetap dan standar emas, sistem ini juga memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan hubungannya dengan investasi dan perdagangan. Paling tidak ada dua keunggulan dalam sistem ini. Pertama, sistem ini memberikan otonomi kebijakan moneter kepada masing-masing negara. Artinya dalam sistem ini semua negara memiliki kedudukan yang sama dan tidak perlu ada yang mendominasi seperti dalam Sistem Bretton Woods di mana Amerika Serikat lebih leluasa mencapai keseimbangan internal dan eksternalnya dibandingkan dengan negara-negara lain. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan di dalam Sistem Bretton Woods melalui mekanisme bank sentral justru bukan memperkuat kebijakan moneter masing-masing negara, melainkan menghambat arus perdagangan internasional.[7]
Selain itu, bank sentral juga dapat menggunakan kebijakan depresiasi dengan leluasa untuk mengurangi permasalahan-permasalahan domestik yang menghambat perdagangan dan investasi. Misalnya pengangguran, bank sentral dapat melakukan kebijakan depresiasi untuk menurunkan harga relatif produk domestik dan meningkatkan permintaan terhadapnya (ekspor).[8]
Kedua, dalam hal investasi, kegiatan intermediasi finansial internasional berkembang pesat sejak 1973 karena banyak negara mengendurkan pengawasannya terhadap lalu lintas permodalan. Dampaknya adalah pembatasan-pembatasan terhadap kegiatan investasi tidak lagi menjadi kendala utama dalam hal ini. Apalagi dengan sistem ini, peningkatan investasi asing langsung (foreign direct investment) semakin meningkat seiring dengan liberalisasi perekonomian dunia.
Sedangkan kelemahannya diantaranya adalah permasalahan spekulasi dan gangguan pasar uang yang merusak stabilitas. Dalam sistem ini, spekulasi terhadap kurs mudah sekali muncul akibat dari tidak adanya standar baku yang dijadikan patokan. Tentunya hal ini akan menghasilkan instabilitas dalam perekonomian dunia yang sekaligus akan mengganggu keseimbangan internal dan eskternal suatu negara. Sederhananya, spekulasi akan memperburuk peluang investasi dan perdagangan masing-masing negara yang sedikit banyak ditentukan oleh perkembangan isu-isu eksternal mengenai kondisi perekonomian domestik.
Dibandingkan dengan sistem nilai tukar mata uang tetap, pada sistem ini harga-harga internasional justru sulit untuk diprediksikan (unpredictable) sehingga mengganggu arus investasi dan perdagangan internasional. Karena tidak ada suatu ukuran yang dapat memastikan atau menentukan nilai kurs yang akan terus bergerak dari waktu ke waktu sesuai kondisi internal dan eksternal masing-masing negara.

DAFTAR BACAAN

Kenen, Peter B. 1967. International Economics. New Jersey: Prentice Hall.
Kindleberger, Charles. 1968. International Economics. Illinois: Richard D. Irwin Inc.
Krugman, Paul R., Obstfeld, Maurice. 1992. Ekonomi Internasional; Teori dan Kebijakan. Jakarta: Rajawali Press.
Salvatore, Dominick. 1992. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.
[1] Paul R. Krugman, Maurice Obstfeld. Ekonomi Internasional; Teori dan Kebijakan. 1992. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 253-266
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]Peter B. Kenen. International Economics. 1967. New Jersey: Prentice Hall. Hal.51-60
[6] Charles. P. Kindleberger. International Economics. 1968. Illinois: Richar D. Irwin Inc. Hal. 513-529
[7] Sebagai contoh adalah pembelian aset domestik oleh bank sentral untuk sementara akan menurunkan suku bunga domestik dan menyebabkan mata uangnya mengalami depresiasi di pasar valuta asing. Agar kurs pulih kembali, bank sentral harus menjual sebagian cadangan luar negerinya. Namun tekanan terhadap suku bunga dan kurs hanya akan hilang jika pengurangan cadangan itu berhasil mendorong tingkat penawaran uang kembali ke posisinya semula. Oleh sebab itu, di masa terakhir penggunaan kurs baku, bank-bank sentral meningkatkan pengawasannya terhadap arus pembayaran internasional untuk mengawasi dan mengendalikan tingkat penawaran uang masing-masing.

[8] Op. Cit. Paul Krugman dan Maurice Ostfield. Hal. 327-350