Tuesday, January 24, 2006

Kelemahan-kelemahan Perspektif Merkantilisme dan Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional
Oleh: Kurniawan (01-1229)

Dalam studi Ekonomi Politik Internasional dikenal dua perspektif yang seringkali melatarbelakangi perdebatan mengenai fenomena dunia kontemporer yaitu Merkantilisme dan Liberalisme. Di satu sisi, Merkantilisme menganggap bahwa untuk menjadi kaya dan makmur suatu negara harus meningkatkan ekspor sebesar-besarnya dan membatasi impor dengan ketat melalui beberapa kebijakan yang lazim dikenal dengan istilah proteksionisme. Di sisi lain, Liberalisme menganggap bahwa mekanisme harga dan kebebasan pasar (free market) merupakan syarat utama dalam peningkatan ekonomi dunia. Secara sederhana, kedua perspektif itu sama-sama bertujuan untuk membawa dunia ke arah yang lebih baik. Lalu bagaimana dengan kelemahan-kelemahan masing-masing perspektif?


Merkantilisme
Secara historis, Merkantilisme adalah suatu perspektif ekonomi yang tumbuh dan berkembang dengan pesat pada abad ke-16 sampai abad ke-18 di Eropa Barat. Beberapa ide pokok Merkantilisme diantaranya adalah, pertama, suatu Negara/Raja akan kaya/makmur dan kuat bila ekspor lebih besar daripada impor (X>M). Kedua, keuntungan yang diperoleh dari selisih (X-M) atau ekspor netto yang positif tersebut diwujudkan dengan pemasukan logam mulia (LM), terutama emas dan perak dari luar negeri. Oleh karena itu, semakin besar eskpor netto, maka akan semakin banyak LM yang dimiliki atau diperoleh dari luar negeri. Ketiga, saat itu LM (emas maupun perak) digunakan sebagai alat pembayaran (uang), sehingga negara/raja yang memiliki LM yang banyak akan kaya/makmur dan kuat.
Untuk mewujudkan ide-ide tersebut, negara-negara harus mendorong ekspor sebesar-besarnya (kecual LM) dan melarang/membatasi impor dengan ketat (kecuali LM). Dalam konteks kontemporer, kebijakan ini berwujud hambatan tarif (tariff barriers) maupun hambatan non-tarif (non-tariff barriers) yang dapat membatasi impor produk-produk luar negeri. Hambatan tarif umumnya berbentuk tarif bea masuk yang dikenakan kepada produk-produk impor dan menyebabkan semakin mahal harga jualnya di dalam negeri dibandingkan dengan produk negara itu sendiri. Sedangkan hambatan non tarif dapat berbentuk regulasi maupun kuota yang dapat mempersempit ruang impor suatu negara.
Tetapi kelemahan dari perspektif ini adalah seperti yang dikemukakan oleh David Hume dalam kritiknya terhadap Merkantilisme. Ia mengatakan bahwa ide atau pokok pikiran dari merkantilisme adalah suatu negara atau raja akan menjadi makmur dan kaya jika nilai ekspornya akan lebih besar daripada nilai impornya. Sehingga jumlah logam mulia (LM) yang dijadikan sebagai alat pembayaran akan semakin banyak. Sederhananya kekayaan suatu negara/raja akan ditentukan oleh seberapa banyaknya jumlah LM yang dimilikinya.
Semakin banyaknya LM sebagai suatu konsekuensi dari tingginya nilai ekspor sama dengan semakin banyaknya Money supply (Ms) atau jumlah uang yang beredar. Secara teoritis, bila Money supply (Ms) atau jumlah uang beredar meningkat, sedangkan jumlah produksi tetap/tidak berubah, tentu akan terjadi inflasi kenaikan harga. Kenaikan harga di dalam negeri tentu akan menaikkan harga barang-barang ekspor (Px), sehingga kuantitas ekspor (Qx) akan menurun).
Semakin banyaknya jumlah uang beredar atau Money supply (Ms) yang diiringi dengan meningkatnya inflasi di dalam negeri tentu akan menyebabkan harga barang impor (Pm) menjadi lebih murah sehingga permintaan terhadapnya (Qm) akan meningkat. Perkembangan seperti itu akan menyebabkan nilai ekspor (X) lebih kecil daripada impor (M). Dengan kata lain, nilai impor akan lebih besar daripada nilai ekspor (M>X), sehingga jumlah LM yang dimiliki suatu negara akan berkurang. Dengan berkurannya LM yang dimiliki, berarti negara/raja menjadi miskin karena LM identik dengan kekayaan dan kemakmuran. Kritik David Hume ini dikenal dengan istilah Price Specie Flow Mechanism.

Liberalisme
Secara historis, Liberalisme muncul sebagai reaksi perlawanan terhadap sikap penganut paham Merkantilis pada pertengahan abad XVIII. Di Perancis, ahli ekonomi menyebut gerakan ini sebagai gerakan Physiocrats yang menuntut kebebasan produksi dan berdagang. Di Inggris, ahli ekonomi Adam Smith menjelaskan dalam bukunya (the Wealth of Nations 1776) mengenai keuntungan untuk menghapus pembatasan-pembatasan dalam perdagangan. Selain itu, ahli ekonomi dan para pelaku bisnis menyuarakan oposisi mereka terhadap semakin tingginya bea pabean yang menjadi penghalang serta mengusulkan negosiasi perjanjian dagang dengan kekuatan-kekuatan asing. Perubahan sikap ini mendorong ditandatangani sejumlah persetujuan liberalisasi perdagangan (Anglo-French Agreement 1786) dan mengakhiri perang ekonomi antara kedua negara.[1]
Berdasarkan the New Lexicon Websters’s Dictionary of the English Language, liberalism berasal dari kata liberal yang bermakna menganggap baik kebebasan individu, reformasi sosial, dan penghapusan atas pembatasan-pembatasan dalam ekonomi.[2] Maka kata liberalisme dapat dimaknai sebagai suatu paham yang menekankan kebebasan individu dalam dinamika hubungan masyarakat serta sistem ekonomi yang bebas dan terbuka. Begitu pula dalam sudut pandang sejarah hubungan internasional, Perspektif Liberal merupakan pemikiran yang mengakar pada Ideologi Liberalisme.[3] Ideologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualisme dan kesetaraan.[4]
Sedangkan Perspektif Liberal dalam ekonomi merupakan pandangan yang mendorong kebebasan pasar dan minimalisasi peran negara. Oleh sebab itu, Perspektif Liberal menempatkan individu sebagai fokus utama dalam ekonomi agar dapat meningkatkan efisiensi dan memaksimalisasi keuntungan. Argumentasi ini diperkuat dengan suatu premis yang sangat mendasar dalam Perspektif Liberal bahwa konsumen perseorangan, perusahaan, atau rumah tangga merupakan basis dari perekonomian masyarakat. Individu-individu dianggap rasional dan berusaha untuk memaksimalisasi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan tingkat biaya serendah-rendahnya.[5]
Dalam perkembangannya, perspektif liberal memfokuskan kepada tiga permasalahan yang dipandang sebagai faktor-faktor penentu dalam perekonomian global yaitu lack of resources dalam perekonomian, lack of international trade yang melihat bahwa negara-negara dunia ketiga terkadang menjaga otonomi nasionalnya dan memproteksi pasar mereka dengan membatasi perdagangan dengan negara-negara industri, dan permasalahan government intervention.
Tetapi liberalisme yang dapat dikatakan sebagai anti-tesis dari merkantilisme dalam ekonomi juga memiliki beberapa kelemahan. Pertama, penerapan liberalisme dalam perekonomian dunia dapat membuat dunia ke dalam tatanan yang cenderung tidak adil. Liberalisasi berbagai sektor perekonomian akan menciptakan persaingan bebas dalam pasar dunia. Artinya disaat persaingan bebas terjadi, maka negara-negara yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif tinggi akan semakin kuat, sedangkan yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif rendah akan semakin lemah.
Misalnya dalam hal impor, ketika kebijakan liberalisasi diterapkan, maka produk-produk dalam negeri akan terancam keberadaannya. Harga produk-produk impor yang lebih murah akan diiringi dengan meningkatnya permintaan terhadap produk-produk tersebut. Sehingga permintaan produk-produk dalam negeri cenderung menurun, bahkan tidak lagi dapat berproduksi alias “bangkrut”. Kebangkrutan produksi ini akan menyebabkan semakin banyaknya pengangguran yang dapat menimbulkan gejolak sosial.
Kedua, liberalisme akan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara negara yang kaya dengan negara yang miskin. Salah satu contohnya adalah kebijakan privatisasi BUMN suatu negara yang dibeli oleh negara asing sebagai suatu konsekuensi dari liberalisasi. Karena negara “menganggap” dirinya tidak mampu lagi mengelola dan membiayai proses produksi BUMN tersebut. Padahal BUMN umumnya merupakan badan atau perusahaan-perusahaan yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengaruh negara asing akan sangat kuat terhadap negara tersebut. Lebih dari itu, kecenderungan penjajahan dalam bentuk baru bisa saja terjadi.
Ketiga, di dalam sistem mekanisme pasar akan timbul kekuatan monopoli yang merugikan. Dalam mekanisme pasar tidak selalu terjadi persaingan sempurna di mana harga dan jumlah barang ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Di dalam perekonomia yang sangat modern—seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa Barat—perusahaan-perusahaan raksasa dapat menguasai pasar. Mereka mempunyai kekuasaan yang sangat besar di pasar dalam menentukan harga, dan menentukan jenis dan jumlah barang yang ditawarkan. Mereka juga dapat membatasi produksi pada tingkat di mana mereka akan memperoleh keuntungan yang maksimum. Keempat, sistem perekonomian liberal cenderung membawa ketidakstabilan. Ketidakpastian harga maupun nilai kurs yang cenderung tidak teratur memperbesar ketidakpastian dalam ekonomi.[6]

DAFTAR BACAAN
Buku :
Gilpin, Robert. 1987. Theories of Political Economy of International Relations. New Jersey: Princeton University Press.
Hady, DR. Hamdy. 2001. Ekonomi Internasional; Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Erlangga.
Sukirno, Sadono. 1999. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Rajawali Press.
CD dan Internet:
Friedman, Milton. 1993-2001. Liberalism. Microsoft Encarta Encyclopedia 2002. Microsoft Corporation. All rights reserved
Gay, Peter. 1993-2001. Microsoft Encarta Encyclopedia 2002. Microsoft Corporation. All rights reserved
http://www.britannica.com/eb/article233673?query=AngloFrench%20Agreement%201786&ct=





[1] http://www.britannica.com/eb/article-233673?query=Anglo-French%20Agreement%201786&ct=, diakses pada 02 Januari 2006
[2] The New Lexicon Webster’s Dictionary of the English Language
[3] Peter Gay, Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[4] Milton Friedman, Liberalism, Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved
[5] Robert Gilpin, Theories of Political Economy of International Relations, The Princeton University Press, New Jersey 1987, p.26-31.
[6]Sadono Sukirno. Pengantar Teori Mikroekonomi. 1999. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 46

2 comments:

Muhammad Saladin said...

assalamualaikum...
salam kenal dan terimakasih atas tulisan di blog Anda

Unknown said...

Thanks :)