Tuesday, January 24, 2006

Implikasi Perubahan Sistem Nilai Tukar Mata Uang dari Fixed Exchange Rate ke Flexible Exchange Rate Terhadap Investasi dan Perdagangan
Oleh: Kurniawan (01-1229)

I. Dari Standar Emas Hingga Keruntuhan Sistem Bretton Woods.

Perubahan nilai tukar dalam sistem moneter internasional telah menjadi suatu isu penting dalam studi Ekonomi Politik Internasional. Karena dalam kenyataannya perubahan sistem nilai tukar tidak hanya dipandang sebagai suatu permasalahan ekonomi, tetapi juga menjadi sangat politis karena berkaitan erat dengan kepentingan masing-masing negara.
Secara historis, sistem moneter internasional telah mengalami empat periode sejak pertengahan 1870an. Periode pertama adalah pada pertengahan 1870an hingga 1914 ketika negara-negara menggunakan standar emas dalam sistem nilai tukar. Lalu periode kedua terjadi diantara dua Perang Dunia. Periode ketiga terjadi setelah Perang Dunia II dimana kurs dibakukan oleh perjanjian Bretton Woods dan periode selanjutnya ditandai dengan keruntuhan sistem Bretton Woods yaitu pada saat konversibilitas dollar terhadap emas tidak berlaku lagi pada awal tahun 1973.
Pertengahan 1870an adalah periode awal dari penggunaan sistem nilai tukar tetap dalam sistem moneter internasional. Dalam sistem nilai tukar ini, nilai uang ditentukan berdasarkan beratnya emas atau lazim disebut dengan standar emas (gold standart exchange rate). Secara historis, penggunaan emas sebagai standar dalam nilai tukar sudah berlangsung di zaman kuno. Namun terciptanya standar emas sebagai institusi legal baru dimulai pada tahun 1819 yaitu ketika Parlemen Inggris memberlakukan Resumption Act.
Resumption Act adalah undang-undang yang mengharuskan Bank of England memulai kembali kegiatannya untuk menukar uang kertas dengan emas yang sempat terhenti selama empat tahun akibat dari Perang Napoleon (1793-1815).
Periode kedua adalah masa diantara Perang Dunia I dan II (1918-1939). Pada periode ini negara-negara “terpaksa” harus melepaskan ketergantungan mereka terhadap emas. “Keterpaksaan” ini ditimbulkan oleh beberapa faktor diantarannya adalah permasalahan hiperinflasi, fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil, dan devaluasi.
Meskipun negara-negara telah berupaya untuk kembali menetapkan standar emas, tetapi Depresi Hebat (Great Depression) yang melanda Inggris akibat dari stagnasi perekonomiannya pada tahun 1920an telah menjadi kendala utama dalam hal ini. Melemahnya perekonomian Inggris membuktikan sulitnya upaya untuk mengembalikan stabilitas ala standar emas.
Periode ketiga diawali dengan pertemuan para wakil dari 44 negara yang berlangsung pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hemisphere, Amerika Serikat. Pertemuan ini merupakan momentum kelahiran sistem Bretton Woods yang ditandai dengan pembentukan IMF-International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) sebagai lembaga keuangan internasional yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dunia pasca Perang Dunia. Beberapa misi dari terbentuknya lembaga ini adalah menjamin terciptanya full employment dan stabilisasi harga, sekaligus memungkinkan semua negara mencapai keseimbangan eksternal tanpa melakukan pembatasan perdagangan.
Sistem Bretton Woods adalah suatu sistem yang mensyaratkan kurs mata uang dipatok dalam emas atau dollar Amerika Serikat. Dalam sistem ini bank-bank pemerintah tiap negara selain AS bertugas untuk menjaga nilai kurs mata uang mereka dan dolar. Untuk itu mereka melakukan intervensi pasar mata uang asing. Bila mata uang satu negara terlalu tinggi terhadap dolar, maka bank pemerintahnya harus menjual mata uangnya dengan dolar agar menjaga nilai tukarnya. Sebaliknya, bila mata uangnya terlalu rendah, mereka harus membeli mata uang mereka sendiri agar menaikkan kembali nilainya. Terkadang sistem ini juga disebut sebagai sistem adjustable peg yang bertujuan untuk memastikan stabilitas nilai tukar maksimum, namun dapat juga memfasilitasi perubahan-perubahan disaat terjadinya devaluasi kompetitif.
Periode keempat adalah masa keruntuhan sistem Bretton Woods yaitu pada saat nilai dolar jatuh akibat dari inflasi dan melambungnya defisit perdagangan Amerika Serikat. Dalam hal ini, AS mendesak Jerman dan Jepang yang kedua-duanya memiliki neraca pembayaran yang bagus untuk mengapresiasi mata uang mereka. Namun pada kenyataannya, kedua negara tersebut enggan untuk melakukan hal tersebut, karena menaikkan nilai mata uang sama dengan menaikkan harga-harga produk yang dapat menggangu aktivitas ekspor.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya AS meniadakan nilai tukar dolarnya dan membiarkannya floating (mengambang) yang menyebabkan jatuhnya nilai dolar dengan cepat. Padahal para pemimpin dunia telah berusaha membangkitkan kembali sistem Bretton Woods dengan membuat kesepakatan Smithsonian tahun 1971, akan tetapi usaha tersebut tetap tidak mampu membendung perubahan yang terjadi dalam sistem nilai tukar dunia. Babak inilah yang mengawali sistem nilai tukar mata uang fleksibel (flexible exchange rate) atau lebih tepatnya disebut sebagai floating exchange rate (rezim nilai tukar mata uang mengambang).



II. Pengaruh Sistem Nilai Tukar Mata Uang Tetap (Fixed Exchange Rate) Terhadap Investasi dan Perdagangan.

Sistem nilai tukar mata uang tetap (fixed exchange rate system) adalah sistem di mana nilai tukar antar mata uang ditentukan dari awal dan tidak bergerak walaupun terjadi perubahan dalam permintaan dan persediaan.[1] Sistem ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan dalam perekonomian makro, khususnya dalam perdagangan dan investasi.[2]
Secara sederhana, sistem ini dapat menghilangkan ketidakpastian dalam kegiatan perdagangan dan investasi internasional. Karena semua bank sentral diwajibkan untuk membakukan kursnya terhadap emas atau mata uang tertentu. Sehingga negara-negara tidak “semena-mena” untuk memperbesar tingkat penawaran uang riil, lagipula tindakan seperti ini pada akhirnya akan meningkatkan harga dari berbagai barang dan jasa, termasuk emas.[3]
Dengan demikian sistem ini memberlakukan batasan-batasan otomatis kepada setiap bank sentral untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan naiknya tingkat harga nasional melalui kebijakan moneter ekspansif. Pengaruhnya adalah nilai mata uang riil nasional lebih stabil dan predictable. Sehingga para pelaku perdagangan dan investasi tidak lagi perlu khawatir terhadap ketidakpastian yang disebabkan oleh fluktuasi kurs mata uang.[4]
Selain itu, sistem nilai tukar mata uang tetap juga cenderung membantu tumbuhnya perdagangan internasional yang teratur. Karena sistem ini melarang terjadinya depresiasi mata uang yang pernah terjadi selama Depresi Hebat (Great Depression). Dengan asumsi apabila masing-masing negara dibiarkan untuk menentukan kursnya sendiri secara bebas, maka tidak menutup kemungkinan sejarah kelabu itu akan berulang.
Di sisi lain, kelemahan dari sistem ini dapat dilihat dari penggunaan standar emas sebagai suatu patokan pada sejarah awal lahirnya sistem ini. Dengan standar emas, negara-negara tidak bisa mengontrol pasokan uang mereka. Karena dalam kenyataannya justru pasokan uang mereka yang ditentukan oleh jumlah peredaran emas dalam bertransaksi dengan negara lain. Selain itu, kebijakan moneter negara-negara yang termasuk didalamnya investasi dan perdagangan sangat dipengaruhi oleh seberapa cepatnya jumlah emas yang dapat diproduksi. Hal ini terbukti pada dasawarsa 1870an dan 1880an ketika produksi emas masih rendah dan peredaran uang dunia masih terlalu lambat untuk mengikuti pertumbuhan ekonomi. Akibatnya adalah terjadi deflasi atau penurunan harga. Sedangkan penemuan emas di Alaska dan Afrika Selatan pada dasarwasa 1890an justru menyebabkan pasokan meningkat tajam yang memicu terjadinya inflasi dan kenaikan harga.[5]

III. Pengaruh Sistem Nilai Tukar Mata Uang Fleksibel (Flexible Exchange Rate System) Terhadap Investasi dan Perdagangan.

Secara konseptual, Sistem Nilai Tukar Mata Uang Fleksibel (Flexible Exchange Rate System) adalah suatu sistem di mana nilai tukar mata uang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan persediaan pasar, tanpa adanya intervensi. Dalam sistem ini untuk menghasilkan penyesuaian neraca pembayaran hanya dibutuhkan perubahan nilai tukar dan bukan perubahan dalam semua harga internal seperti yang diperlukan pada sistem nilai tukar tetap dan standar emas.[6]
Tetapi tidak berbeda dengan sistem nilai tukar tetap dan standar emas, sistem ini juga memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan hubungannya dengan investasi dan perdagangan. Paling tidak ada dua keunggulan dalam sistem ini. Pertama, sistem ini memberikan otonomi kebijakan moneter kepada masing-masing negara. Artinya dalam sistem ini semua negara memiliki kedudukan yang sama dan tidak perlu ada yang mendominasi seperti dalam Sistem Bretton Woods di mana Amerika Serikat lebih leluasa mencapai keseimbangan internal dan eksternalnya dibandingkan dengan negara-negara lain. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan di dalam Sistem Bretton Woods melalui mekanisme bank sentral justru bukan memperkuat kebijakan moneter masing-masing negara, melainkan menghambat arus perdagangan internasional.[7]
Selain itu, bank sentral juga dapat menggunakan kebijakan depresiasi dengan leluasa untuk mengurangi permasalahan-permasalahan domestik yang menghambat perdagangan dan investasi. Misalnya pengangguran, bank sentral dapat melakukan kebijakan depresiasi untuk menurunkan harga relatif produk domestik dan meningkatkan permintaan terhadapnya (ekspor).[8]
Kedua, dalam hal investasi, kegiatan intermediasi finansial internasional berkembang pesat sejak 1973 karena banyak negara mengendurkan pengawasannya terhadap lalu lintas permodalan. Dampaknya adalah pembatasan-pembatasan terhadap kegiatan investasi tidak lagi menjadi kendala utama dalam hal ini. Apalagi dengan sistem ini, peningkatan investasi asing langsung (foreign direct investment) semakin meningkat seiring dengan liberalisasi perekonomian dunia.
Sedangkan kelemahannya diantaranya adalah permasalahan spekulasi dan gangguan pasar uang yang merusak stabilitas. Dalam sistem ini, spekulasi terhadap kurs mudah sekali muncul akibat dari tidak adanya standar baku yang dijadikan patokan. Tentunya hal ini akan menghasilkan instabilitas dalam perekonomian dunia yang sekaligus akan mengganggu keseimbangan internal dan eskternal suatu negara. Sederhananya, spekulasi akan memperburuk peluang investasi dan perdagangan masing-masing negara yang sedikit banyak ditentukan oleh perkembangan isu-isu eksternal mengenai kondisi perekonomian domestik.
Dibandingkan dengan sistem nilai tukar mata uang tetap, pada sistem ini harga-harga internasional justru sulit untuk diprediksikan (unpredictable) sehingga mengganggu arus investasi dan perdagangan internasional. Karena tidak ada suatu ukuran yang dapat memastikan atau menentukan nilai kurs yang akan terus bergerak dari waktu ke waktu sesuai kondisi internal dan eksternal masing-masing negara.

DAFTAR BACAAN

Kenen, Peter B. 1967. International Economics. New Jersey: Prentice Hall.
Kindleberger, Charles. 1968. International Economics. Illinois: Richard D. Irwin Inc.
Krugman, Paul R., Obstfeld, Maurice. 1992. Ekonomi Internasional; Teori dan Kebijakan. Jakarta: Rajawali Press.
Salvatore, Dominick. 1992. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.
[1] Paul R. Krugman, Maurice Obstfeld. Ekonomi Internasional; Teori dan Kebijakan. 1992. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 253-266
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]Peter B. Kenen. International Economics. 1967. New Jersey: Prentice Hall. Hal.51-60
[6] Charles. P. Kindleberger. International Economics. 1968. Illinois: Richar D. Irwin Inc. Hal. 513-529
[7] Sebagai contoh adalah pembelian aset domestik oleh bank sentral untuk sementara akan menurunkan suku bunga domestik dan menyebabkan mata uangnya mengalami depresiasi di pasar valuta asing. Agar kurs pulih kembali, bank sentral harus menjual sebagian cadangan luar negerinya. Namun tekanan terhadap suku bunga dan kurs hanya akan hilang jika pengurangan cadangan itu berhasil mendorong tingkat penawaran uang kembali ke posisinya semula. Oleh sebab itu, di masa terakhir penggunaan kurs baku, bank-bank sentral meningkatkan pengawasannya terhadap arus pembayaran internasional untuk mengawasi dan mengendalikan tingkat penawaran uang masing-masing.

[8] Op. Cit. Paul Krugman dan Maurice Ostfield. Hal. 327-350

No comments: